Waktu SMA dulu saya punya temen perempuan. Dia berjilbab. Sebut saja namanya Yeni. Dulunya,Yeni ini SMP-nya di Madrasah Tsanawiyah, sehingga mewajibkan dirinya dan murid perempuan lainnya menggunakan jilbab. Dan tentu saja Yeni tetap memakai jilbab saat masuk SMA. Saya kenal dia karena kita dulu sama-sama di OSIS dan sekelas waktu kelas 3.
Setelah tahun kedua, ada gossip beredar kalau Yeni ini ingin melepas jilbabnya. Jaman dulu waktu SMA, jarang banget saya punya teman berjilbab yang memutuskan untuk melepas jilbabnya saat masih sekolah di sana. Ya kalau udah lulus mungkin ada ya. Entah karena meraka tahan-tahan sampai lulus SM baru lepas supaya tidak jadi bahan pembicaraan ataupun ada alasan lainnya.
Kalau saya, urusan teman saya lepas jilbab atau tidak sebenernya bukan suatu hal yang penting dalam pertemanan. Yang penting orangnya tetep baik, nggak aneh-aneh, saya nggak peduli. Kecuali kalau misalnya dia berubah secara ekstrim, yang menjurus ke hal-hal yang saya tidak suka. Tapi suka dan tidak suka itu sih relatif juga ya.
Akhirnya, hari di mana dia lepas jilbab itu pun tiba. Agak kaget juga sih, karena dia lumayan ekstrim ganti kostumnya. Sebelumnya tertutup banget, sekarang kemejanya jadi junkies gitu, roknya ketat walaupun masih di perbatasan lutut, bukan di atas lutut. Oh iya, Yeni ini cantik banget, tinggi pula. Pake jilbab atau enggak sih tetep cantik, dan termasuk siswi yang cukup popular lah. Walaupun saya kaget, tapi saya ya biasa aja sih. Terserah dia kok mau berpenampilan seperti apa. Bukan urusan saya juga. Dan dia pun tetep baik orangnya.
Jadi masalahnya di mana? Gini, tiap sekolah pasti ada guru Agamanya kan? Pasti ada pelajaran agama Islam kan? Rupanya pelajaran tersebut sepertinya merupakan neraka bagi Yeni. Kenapa? Setiap pelajaran itu, guru Agama saya –yang emang sih agak reseh, jujur saya ndak terlalu suka–, selalu saja menyindir teman saya itu. Nyindirnya sih gak tanggung-tanggung, pake nyebut nama. Eh, itu bukan nyindir ya? Penghinaan menurut saya sih. Saya tidak inget secara persisnya, yang pasti setiap pelajaran agama, Yeni ini selalu nangis. Nunduk di meja, sambil nangis, Coba, gimana gak miris? Sumpah saya nggak suka banget sama guru agama saya yang satu itu.
Satu lagi, jaman dulu itu, ada yang namanya razia rok pendek di atas lutut. Razianya ini oleh guru BP. Siswi-siswi yang menurut bu guru itu roknya kependekan, langsung digunting roknya. Diguntingnya ini bukan maksudnya dipanjangin loh, tapi digunting membelah ke atas. Sinting gak? Kebetulan sih SMA saya gak banyak tuh yang roknya pendek-pendek. Nah, Yeni ini sering banget jadi korban. Kenapa korban? Karena menurut saya roknya itu masih di batas lutut entah apa karena dia tinggi jadi kesannya roknya pendek, atau ada motif lain sehubungan dengan jilbab yang dia buka. Jadi setelah razia, kemana-mana dia pake sarung. Orang-orang yang lihat pasti tahu kalau roknya habis digunting. Dan nggak sukanya saya, perubahan dia yang cukup ekstrim itu membuat dirinya menjadi bahan gunjingan teman-teman di sekolah. Saya mungkin ikutan juga tanpa sadar, tetapi yang pasti saya tidak pernah berprasangka buruk. Cuma prihatin kenapa banyak orang yang tidak suka, padahal juga hal ini bukan urusan mereka.
Mungkin teman-teman di sini pernah juga punya teman berjilbab yang sekarang ini memutuskan untuk melepas jilbabnya. Satu cerita lagi, sahabat saya salah satunya. Sahabat saya banget malahan. Tapi sumpah ya, saya kok gak merasa gimanaaa gitu ya dengan keputusan dia? Apa mungkin saya terlalu mengerti dirinya sehingga dengan sendirinya bisa langsung menghormati keputusan dia itu ya? Ah, pokoknya saya gak peduli urusan ini, jilbab itu urusan dia sama Yang Di Atas.
Masalah jilbab ini mungkin sensitif ya buat sebagian orang. Saya di sini Cuma sharing pengalaman aja, gak bermaksud menggurui atau apapun, apalagi menyuruh anda membuka jilbab, amit-amit deh. Saya tidak berteman dengan jilbabnya, melainkan dengan orangnya. Kalau teman-teman gimana? Pernah punya pengalaman yang sama? 🙂